Ketika Bu Halimah memberi julukan “Laskar Pelangi” pada sepuluh muridnya barangkali ketika itu ia tidak pernah membayangkan akan menjadi sefenomenal saat ini.
Sebuah buku katagori “best seller”, Sebuah “box office movie”, diundang dalam acara talkshow Kick Andy yang memiliki rating pemirsa tinggi dan segudang penghargaan dan perhatian yang telah dan dapat diramalkan akan segera diterima.
Saat itu laskar pelangi dan Bu Halimah hanya sekelompok murid miskin di sebuah tempat yang terlupakan, yang berusaha berjuang dalam keterbatasan.
Apa yang bisa diharapkan dari sekelompok anak nelayan yang dipisahkan dari peradaban berkilo-kilo meter oleh lautan. Dimana kepasrahan dan pesimisme menjadi begitu dominan. Harapan dan mimpi akan masa depan yang lebih baik berada begitu jauh melampaui batas horizon yang melingkupi pulau belitong dimana mereka tinggal.
Dalam situasi seperti ini, pertanyaan yang sangat sulit dijawab adalah “what education for?” buat apa sekolah?, ketika ilmu yang dipelajari sulit diimplementasikan, ketika tuntutan untuk bertahan hidup begitu mencekik memaksa setiap anak yang mulai tumbuh turun kelaut.
Seorang Ibu guru dan sepuluh siswa berusaha membuktikan sesuatu yang tampak begitu absurd, menjawab pertanyaan tentang makna pendidikan secara esensial dan hakiki.
Bagi kita yang tinggal di wilayah perkotaan atau setidaknya berada di wilayah yang tidak terisolir, pendidikan adalah sebuah rutinitas dan kewajiban formal yang harus dilewati setiap orang.
Lebih jauh kita melihat institusi pendidikan sebagai sebuah tempat mengasah keterampilan dan menambah pengetahuan sebagai bekal hidup (life skill), di kemudian hari.
Buku atau film dari buah karya Andrea Hirata, membuka cakrawala baru bagi kita akan esensi lain dari pendidikan, penanaman nilai (value), sebuah muatan yang barangkali terlupakan atau dianggap usang didunia pendidikan kita dewasa ini.
Meski kadang terlontar juga, para praktisi pendidikan lebih menyorot aspek akademis, sarana dan prasarana sekolah, dan sebagainya sebagai target pengembangan institusi-institusi pendidikan.
Keberhasilan institusi pendidikan diukur dari prestasi akademis, jumlah peserta didik yang berhasil direkrut, sarana dan prasarana pendidikan yang tesedia. Itulah yang selalu menjadi barometer. Kemudian diberikan label-label formal berupa status sekolah seperti akreditasi A, B dst.
Tidak peduli sebagian lulusannya hanya menjadi pengangguran beban masyarakat, birokrat korup, pelaku kriminal dsb. Sebuah produk generasi yang hanya peduli pada kemapanan finansial atau pengekor pergeseran moral yang menerima realitas hidup apa adanya (as is).
Sebuah bangunan yang telah roboh tempat sepuluh anak berkumpul, berbagi kebahagiaan dan kesedihan, mungkin akan lebih diingat dibandingkan gedung-gedung lain dengan kelas ber AC, Lab-lab canggih dan murid yang berpakaian rapih dan berbaris tertib ditengah lapangan yang luas.
Ketika sebagian kita mengingat masa-masa sekolah sebagai pengalaman belajar, mengikuti berbagai les, serta tekanan untuk segera melunasi SPP, ada sepuluh orang dari pulau Belitong mengingat masa sekolah sebagai perjuangan yang penuh keberhasilan serta kegagalan, suka juga duka, dan kita menjadi saksi perjalanan mereka.
Sebuah kisah pencerahan yang mengajak kita melihat kehidupan dan pendidikan dari sudut yang berbeda. Ada kegetiran dan haru ketika kita keluar dari gedung sinema atau menutup halaman terakhir bukuini, ada banyak pertanyaan terjawab, ada semangat baru yang tumbuh. Satu pertanyaan yang belumter jawab “kenapa Pelangi?”.
Mari berjuang memberikan sesuatu pada bangsa ini dengan apa yang kita bisa dan punyai.
Keep writing bro..