Akhir akhir ini, saya sedang demam ikutan seminar, workshop dsb. Setelah seminar seminggu lalu di Balirung UI, tadi pagi saya mengikuti workshop KTSP untuk SMK Kota Depok.
Awalnya terus terang agak skeptis karena pembicara yang diundang hanya dari kalangan industri perhotelan, otomotif dan waralaba. Makanya saya nulis status di FB “hotel, mobil, depstore…”, malah sudah punya planning kabur saat makan siang, karena tidak ada pembicara yang merepresentasikan bidang keahlian sekolah yang saya wakili.
Tepi setelah mendengar pembicara pertama dari perhotelan ternyata materi yang disajikan cukup menarik.
Saya nggak akan nyeritain jalannya workshop secara keseluruhan, Cuma ada beberapa hal menarik dari apa yang disampaikan panelis yang ingin saya share di sini.
Dia seorang HRD managar di departeman store di Cimanggis. Terus terang awalnya kami semua agak kurang respek karena cara penyampaiannya terkesan nggak sistematis.
Tapi seiring berjalannya waktu kami bisa mengikuti dengan baik tehnik komunikasinya yang dia akui sebagai stylenya orang “lapangan”. Dengan gaya bicara yang sangat bersemangat Sang HRD manager mengemukakan gagasannya tentang kontribusi industri terhadap dunia pendidikan.
Sebuah proyek “Uji kompetensi siswa” yang dilakukan di perusahaan tempat ia bekerja. Sudah berjalan dengan beberapa SMK yang secara ironis malah banyak diikuti sekolah dari luar Depok.
Poin yang menarik adalah pandangannya tentang bagaimana timnya menilai siswa, serta kasus-kasus yang terjadi selama program uji kompentensi siswa berlangsung.
Mulai dari guru pendamping yang meminta “memodifikasi” nilai , sampai sekelompok siswa sekolah bernuasa relegi yang melakukan tindakan tidak terpuji selama ujian.
Hal yang sangat mengusik saya adalah ketika ia mengekpresikan ketidak mengertiannya atas insiden-inseden yang dia anggap bertentangan dengan etika industri / kerja yang dipahaminya. Sebuah tindakan dan sikap yang sangat tidak bisa diterima tapi terjadi didepan matanya.
Saya tidak tahu perlu berapa lama sampai ia menyadari apa yang tejadi sebenarnya di dunia pendidikan, sebuah realitas yang membuat saya tidak merasa bangga sebagai pendidik.
Ironi yang saya lihat, ketika sebelumnya kami mendengar wakil dari Birokrasi pendidikan dengan bangga memaparkan persentasi angka kelulusan tingkat kota yang tinggi yang berhasil dicapai tahun ini yang kemudian disambut aplus seadanya.
Hal sebaliknya terjadi ketika Pak Sukardi seorang HRD dari sebuah perusahaan jaringan perusahaan retail menutup presentasinya yang disambut tepuk tangan meriah dari seluruh peserta.
Sepertinya harapan itu masih ada……
Harapan itu selalu ada… Meski demikian kita tidak hanya bisa sekedar mengharapkan suatu perubahan baik di dunia pendidikan hanya dengan berdiam diri saja.
Terima kasih untuk sharingnya..
Betul pak.., ada perasaan gimana gitu.., kalau melihat persepsi dan ekspektasi dunia luar terhadap pendidikan kita. Mereka saja masih bisa melihat pendidikan sebagai pelayan publik (public services), sedangkan didalam (kita) sebagai praktisi pendidikan sering melupakan itu, menjadikan institusi sekolah hanya sebagai tempat mencari nafkah.
Ketika mereka bicara measalah kaitan antara jenjang karir dengan nilai-nilai kejujuran, disiplin, inisiatif dan etos kerja. kita mengajarkan hal yang sebaliknya pada anak didik kita.
Makanya ketika kita “menolong” mereka saat ujian agar lulus, apa bukan sebenarnya kita telah mencelakai mereka ???
Terimakasih sudah mampir dan terimakasih jug atas dukungannya…
pendidikan
kini menjadi potret buram moralitas di indonesia juga
ga tahu lah hrs gimana lagi
Kalau dari cerita diatas, ternyata kita masih lebih menghargai kejujuran daripada kepura-puraan.