17 Agustus 2009 ini untuk ke 64 kalinya sang Merah-Putih dikibarkan di halaman rumah kita. Di lapangan Upacara sekolah seremoni 64 tahun kemerdakaan Republik Indonesia diperingati. Kegiatan berbagai lomba di setiap lingkungan berlangsung dengan meriah.
Sebuah pertanyaan klasik muncul dibenak kita, “Apa makna hari ini?”, Jika kita bisa masuk dan menyelam ke dalam hati para eks veteran pejuang, barangkali kita bisa melihat gambaran situasi 64 tahun lalu. Beberapa potret hitam-putih Indonesia saat menjelang proklamasi dikumandangkan.
Dan barangkali juga…, kita bisa sedikit merasakan euphoria, sensani perasaannya yang bergejolak dihatinya dan semua yang hidup pada masa itu.
Ketika kalimat “ Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. ” mereka dengar, barangkali berkecamuk perasaan suka cita, tidak percaya, bahwa keringat yang mereka cucurkan, darah dan jiwa dari orang-orang yang mereka relakan pergi telah membuahkan hasil.
Kemudian hati yang berdegup kencang itu membawa raga mereka bersimpuh memanjatkan syukur pada Tuhan yang pada kesempatan selanjutnya membawa tubuhnya melangkah kejalan berbaur dengan kerumunan orang yang secara spontan, bersemangat meneriakkan kata “MERDEKA …!!!”.
64 Tahun setelahnya, sebangian hati itu masih berdegup, tubuh renta mereka masih bisa dibawa berjalan dan mata mereka masih mampu menyaksikan Merah Putih bergerak perlahan ke puncak tiangnya dan melambai lemah tertiup angin.
Sebagaian hati lagi, telah berhenti berdetak, terkubur di bawah pusara di beberapa kompleks pemakaman atau terserak di berbagai wilayah republik ini, tidur panjang bersama tanah, air dan udara yang mereka perjuangkan dengan mengorbankan segalanya.
64 Tahun bukan waktu yang singkat, cukup waktu bagi satu hingga lima generasi datang dan pergi tanpa perlu mengingat dimana mereka lahir dan kehidupan kontemporer apa yang mereka jalani. Cukup waktu bagi keserakahan manusia membangun tirani-tirani serta merekonstruksi rejim-rejim baru.
Desakan kehidupan mendorong setiap orang berjuang untuk kepentingan pragmatis pribadi, keluarga dan kelompok. Pertarungan pun terjadi, sebagian berhasil memenangkannya dan sebagian lain harus menerima pahitnya kekalahan.
Sejarah tidak pernah berulang, akan tetapi tirani selalu menemukan bentuk barunya, kadang dalam bentuk ideologi baru, ekonomi, pembodohan sistematis, penguasaan media dan lainnya. Setiap generasi menghadapi ancaman yang berbeda.
Upaya memberangus kemerdekaan tidak akan pernah berhenti, sebuah gerakan universal selama keserakahan, nafsu, superioritas dan ketakutan akan hilangnya hegemoni kekuasaan menguasai hati manusia.
Akan tetapi perjalanan sejarah di republik ini pun secara menakjubkan menunjukkan kepada kita, bahwa tidak ada kekuasaan yang abadi, di tengah upaya represif dan sistematis sebuah rejim, selalu muncul kekuatan lain yang menghentikannya.
Karena, meski kadang kata “kemerdekaan” begitu kabur dan absurd, di lubuk hati kecil kita yang paling dalam menyadari bahwa itu adalah hal paling berharga yang tersisa dari yang kita miliki ketika semuanya telah dirampas. Dan apapun yang harus dikorbankan untuk mempertahankannya, adalah pantas.
agak berat, tapi like this. ^^
Inilah kenyataan yang ada buat Indonesia, mengapa kita tidak pernah berbuat seperti mereka berbuat waktu itu?… 🙂
iya merdeka hanya milik sebagian orang yang berkantong tebal,bangsa ini belum bisa begitu yakin untuk merdeka selama persoalan-persoalan sosial masih seberawut.