Saya tergerak mengupas masalah ini ketika menyaksikan aksi-aksi bom bunuh diri yang begitu sering di berbagai negara yang disiarkan media-media masa. Sulit membayangkan apa motivasi mereka melakukan itu, satu hal yang pasti adalah adanya rasa marah. Marah memang sering berbuntut ekspresi fisik yang merugikan bukan hanya terhadap subyek penyebab kemarahan melainkan juga pada pihak lain yang tidak terlibat.
Entah kenapa, saya jadi ingat kembali ketika saya memberikan akses komunikasi internet chatting di lab sekolah kepada murid SMP saya. Saya perhatikan sebagian besar dari kalimat yang mereka tulis berisi umpatan, cemooh, ejekan yang bisa dikatakan kasar.
Lalu pikiran saya melayang pada peristiwa tawuran pelajar yang semakin marak belakangan ini.
Samar, saya melihat ada benang merah yang menghubungkan ketiga momentum itu. Kemampuan mengekspresikan diri. Ketiga insiden di atas menggambarkan keterbatasan individu atau kelompok masyarakat dalam mengekspresikan diri.
Kebalikan dari ekspresif adalah diam. Pilihan terakhir itu sama sekali bukan pilihan. Namun ketika keinginan berekspresi terbatasi baik dikarenakan hambatan internal (kemampuan bahasa, pengalaman dsb), maupun hambatan ekternal (sistem, norma dsb) yang terjadi adalah upaya-upaya kontra produktif yang tidak diperhitungkan dampaknya.
Situasi dimana seseorang atau sekolompok orang terjebak dalam ketidak mampuan mengekspresikan diri sehingga menyeret pihak yang seharusnya tidak terlibat ke dalamnya dan itu terjadi secara simultan dan menimbulkan efek domino yang berujung pada situasi krisis bahkan chaos.
Sungguh ironis mengingat peradaban yang telah berusia ribuan tahun dan meciptakan sebuah sistam, budaya komunikasi masih mereproduksi individu serta masyarakat yang memiliki masalah dalam mengkespresikan diri sehingga menjadi pemicu munculnya krisis komunikasi, salah pengertian, dan intolerasi.